![]() |
sumber gambar : jagatrivew.com |
Pada akhirnya sampai juga. Setelah sekian
lama menunggu datangnya film “Sang Penari”. Film ini menceriterakan tentang
kehidupan sekolompok orang yang aktif dalam bermain musik tradisional sebagai
sumber kehidupan. Bahkan, tidak hanya sekedar urusan penghasilan, tetapi mereka
menganggap bahwa bermain musik adalah mengangkat derajad pedukuhannya. Tak ada
dukuh paruk tanpa ronggeng.
Saya sendiri agak heran. Sewaktu menonton,
justru banyak anak muda berumur belasan tahun. Padahal film yang diadopsi dari
novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari sudah cukup lama terbit.
Artinya, pada masa awal terbit, anak muda itu pasti belum lahir. Apakah memang
mereka sudah jenuh dengan tontonan sinetron? Apakah mereka juga sudah bosan
dengan film yang berbau horor?
Saya sendiri mengenal novel itu cukup
terlambat. Saat masih mahasiswa, saya heran melihat teman-teman fakultas sastra
dimanapun mereka berada hampir selalu membawa novel Ronggeng Dukuh Paruk. Apa
karena mereka harus mengusai karya sastra itu? Atau hanya untuk gaya-gayaan?
Seperti kalau saya dan teman-teman membawa buku kalkulus atau statistik yang
merupakan buku hantu. Karena dua mata kuliah itu, kebanyakan mahasiswa nilainya
terkapar.
Bagi saya, kalau harus membandingkan
antara melihat film dan membaca novel tersebut, aku tetap pilih yang kedua.
Dengan membaca, si pembaca bebas mengapresiasikan tiap kata yang dibangun untuk
menjadi kalimat. Ada muatan kalimat-kalimat, alinea demi alinea memiliki
tingkat interpretasi yang berbeda. Apalagi Ahmad Tohari yang piawai
mengeksploitasi alam sekitar. Mulai dari tumbuhan sampai hewan yang peling
kecil sekalipun. Sejak dari gemericik air sampai dengan awan yang menggantang.
Ini memang sangat sulit divisualkan. Itulah salah satu kelemahan film.
Ada banyak kejadian yang tidak terwakili
dalam film. Ada banyak kalimat yang luput untuk divisualkan. Adalah hak
sutradara untuk mengaplikasikan karya tulis ke dalam layar lebar. Namun dalam
keterbatasan itulah, sutradara patut diberi jempol. Mereka hendak mengangkat
kembali karya sastra yang memang adi luhung. Terbukti novel itu telah
diterjemahkan dalam beberapa bahasa. Sampai saat ini masih menjadi kajian.
Ada 2 hal yang hendak dikibarkan dalam film
Sang Penari lewat layar lebar. Pertama kemiskinan. Kata Dahlan Iskan antara
kemiskinan dan Pendidikan ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan.
Rakyat miskin karena tidak berpendidikan. Mengapa tidak berpendidikan, karena
miskin. Dua arus yang selalu melingkar. Tidak putus-putus.
Pengambilan gambar yang tepat, dilokasi
yang tepat pula, suasana dukuh paruk yang miskin lengkap dengan kostum para
pemainnya. Rumah yang nyaris seperti gubug. Tanah becek. Gundukan tanah makam
Ki Secamenggala sebagai simbol kekuatan, menambah daya tarik suasana
kemiskinan. Meskipun sebenarnya dalam novel tercatat bahwa makam Ki
Secamanggala terletak di bahu bukit, yang jaraknya ratusan meter dari dukuh.
Akibat dari kemiskinan maka mengakibatkan
pengaruh yang ke-2 yaitu kurang pendidikan. Novel dibuat dengan setting
peristiwa malapetaka politik tahun 1965. PKI yang lihai memanfaatkan orang yang
tidak berpendidikan, tercermin dari hasutan seorang tokoh yang digambarkan akan
membawa perubahan. Ajaran yang ditawarkan adalah persamaan hak, persamaan
kepemilikan. Tidak ada yang lebih kaya, sebaliknya tidak ada orang miskin.
Semua berhak mengelola tanah pertanian. Semua berhak atas hasil pertanian.
Sebagai media, kesenian menjadi daya
pikat yang jitu. PKI juga ahli dalam mengelola kesenian sebagai alat provokasi.
Kebetulan, saat itu, ronggeng menjadi alat hiburan favorit untuk di kalangan
rakyat.
Selebihnya
saya mengapresiasikan film Sang Penari, dengan membaca kembali novel Ronggeng
Dukuh Paruk. Tidak akan bosan, memperhatikan kata yang dirangkai menjadi
kalimat. Lembar demi lembar. Sebagaimana saya juga tidak bosan membaca kumpulan
tulisan Umar Kayam : Mangan ora mangan Kumpul, Satria Piningit Ing Kampung
Pingit. Atau Catatan Pinggirnya Gunawan Mohammad meskipun setelah membaca saya
juga tidak tahu isinya.
Posting Komentar untuk "Sang Penari"