![]() |
sumber gambar : pro-syariah.blogspot.com |
Ditulis oleh : Faisal Basri
Saya pertama kali
mengenal Pak Boed pada akhir 1970-an lewat buku-bukunya yang enak
dibaca, ringkas, dan padat. Pada akhir 1970-an. Kalau tak salah,
judul-judul bukunya selalu dialawali dengan kata ”sinopsis,” ada Sinopsis
Makroekonomi, Sinopsis Mikroekonomi, Sinopsis Ekonomi Moneter, dan Sinopsis
Ekonomi Internasional. Kita mendapatkan saripati ilmu ekonomi dari
buku-bukunya yang mudah dicerna.
Pada suatu kesempatan,
Pak Boed mengutarakan pada saya niatnya untuk merevisi buku-bukunya itu.
Mungkin ia berniat untuk menulis lebih serius sehingga bisa menghasilkan
buku teks yang lebih utuh. Kala itu saya menangkap keinginan kuat Pak Boed
untuk kembali ke kampus dan menyisihkan waktu lebih banyak menulis buku. Karena
itu, ia tak lagi berminat untuk kembali masuk ke pemerintahan setelah masa
tugasnya selesai sebagai Menteri Keuangan di bawah pemerintihan Ibu Megawati.
Pak Boed dan Pak Djatun
(Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menko Perekonomian) bekerja keras memulihkan
stabilitas ekonomi yang “gonjang-ganjing” di bawah pemerintahan Gus Dur.
Hasilnya cukup mengesankan. Pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan terus
menerus. Di tengah hingar bingar masa kampanye seperti dewasa ini, Ibu
Mega ditinggalkan oleh wapresnya, dua menko, dan seorang menteri (Agum
Gumelar). Ternyata perekonomian tak mengalami gangguan berarti. Kedua ekonom
senior ini bekerja keras mengawal perekonomian. Hasilnya cukup menakjubkan,
pertumbuhan ekonomi pada triwulan keempat 2004 mencapai 6,65 persen, tertinggi
sejak krisis hingga sekarang.
Selama dua tahun pertama
pemerintahan SBY-JK, perekonomian Indonesia mengalami kemunduran. Tatkala
muncul gelagat Pak SBY hendak merombak kabinet, sejumlah kawan mengajak Pak
Boed bertemu. Niat para kolega ini adalah membujuk Pak Boed agar mau kembali
masuk ke pemerintahan seandainya Pak SBY memintanya. Agar lebih afdhol,
kolega-kolega saya ini juga mengajak Ibu Boed. Mungkin di benak mereka, Ibu
bisa turut luluh dengan pengharapan mereka. Akhirnya, Pak Boed menduduki
jabatan Menko Perekonomian. Mungkin sahabat-sahabat saya itu masih
terngiang-ngiang sinyal penolakan Pak Boed dengan selalu mengatakan bahwa ia
sudah cukup tua dan sekarang giliran yang muda-muda untuk tampil. Memang, Pak
Boed selalu memilih ekonom muda untuk mendampinginya: Mas Anggito, Bung Ikhsan,
Bung Chatib Basri, Mas Bambang Susantono, dan banyak lagi. Semua mereka lebih
atau jauh lebih muda dari saya.
Interaksi langsung terjadi
ketika Pak Boed menjadi salah seorang anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN).
Saya ketika itu anggota Tim Asistensi Ekonomi Presiden (anggota lainnya
adalah Pak Widjojo Nitisastro, Pak Alim Markus, dan Ibu Sri Mulyani Indrawati).
Ibu Sri Mulyani memiliki jabatan rangkap (jadi bukan sekarang saja), selain
sebagai anggota Tim Asistensi juga menjadi sekretaris DEN. Pak BOed tak pernah
mau menonjolkan diri, walau ia sempat jadi menteri pada masa transisi.
Sikap rendah hati itulah
yang paling membekas pada saya. Lebih banyak mendengar ketimbang bicara. Kalau
ditanya yang “nyerempet-nyerempet,” jawabannya cuma dengan tersenyum. Saya tak
pernah dengar Pak Boed menjelek-jelekkan orang lain, bahkan sekedar mengkritik
sekalipun.
Tak berarti bahwa Pak
Boed tidak tegas. Seorang sahabat yang membantunya di kantor Menko Perekonomian
bercerita pada saya ketegasan Pak Boed ketika hendak memutuskan nasib proyek
monorel di Jakarta yang sampai sekarang terkatung-katung. Suatu waktu menjelang
lebaran, Pak Boed dan sejumlah staf serta, kalau tak salah, Menteri
Keuangan dipanggil Wapres. Sebelum meluncur bertemu Wapres, Pak Boed
wanti-wanti kepada seluruh stafnya agar kukuh pada pendirian berdasarkan hasil
kajian yang mereka telah buat. Pak Boed sempat bertanya kepada jajarannya,
kira-kira begini: “Tak ada yang konflik kepentingan, kan? Ayo kita
jalan, Bismillah … Keesokan harinya, saya membaca di media massa
bahwa sekeluarnya dari ruang pertemuan dengan Wapres, semua mereka berwajah
“cemberut” tanpa komentar satu kata pun kepada wartawan.
Adalah Pak Boed pula
yang memulai tradisi tak memberikan “amplop” kalau berurusan dengan DPR.
Tentang ini, saya dengar sendiri perintahnya kepada Mas Anggito.
Ada dua lagi,
setidaknya, pengalaman langsung saya berjumpa dengan Pak Boed. Pertama, satu
pesawat dari Jakarta ke Yogyakarta tatkala Pak Boed masih Menteri Keuangan.
Berbeda dengan pejabat pada umumnya, Pak Boed dijemput oleh Ibu. Dari kejauhan
saya melihat Ibu menyetir sendiri mobil tua mereka.
Kedua, saya dan isteri
sekali waktu bertemu Pak Boed dan Ibu di Supermarket dekat kediaman kami.
Dengan santai, Pak Boed mendorong keranjang belanja. Rasanya, hampir semua
orang di sana tak sadar bahwa si pendorong keranjang itu adalah seorang Menko.
Banyak lagi cerita lain
yang saya dapatkan dari berbagai kalangan. Kemarin di bandara Soekarno Hatta
setidaknya dua orang (pramugara dan staf ruang tunggu) bercerita pada saya
pengalaman mengesankan mereka ketika bertemu Pak Boed. Seperti kebanyakan yang
lain, kesan paling mendalam keduanya adalah sikap rendah hati dan
kesederhanaannya.
Dua hari lalu saya dapat
cerita lain dari pensiunan pejabat tinggi BI. Ia mengalami sendiri bagaimana
Pak Boed memangkas berbagai fasilitas yang memang terkesan serba “wah.” Dengan
tak banyak cingcong, ia mencoret banyak item di senarai fasilitas. Kalau tak
salah, Pak Boed juga menolak mobil dinas baru BI sesuai standar yang berlaku
sebelumnya. Entah apa yang terjadi, jangan-jangan mobil para deputi dan deputi
senior lebh mewah dari mobil dinas gubernur.
Kalau mau tahu rumah
pribadi Pak Boed di Jakarta, datang saja ke kawasan Mampang Prapatan, dekat
Hotel Citra II. Kebetulan kantor kami, Pergerakan Indonesia, persis
berbelakangan dengan rumah Pak Boed. Rumah itu tergolong sederhana. Bung Ikhsan
pernah bercerita pada saya, ia menyaksikan sendiri kursi di rumah itu sudah
banyak yang bolong dan lusuh.
Bagaimana sosok seperti
itu dituduh sebagai antek-antek IMF, simbol Neoliberalisme yang bakal
merugikan bangsa, dan segala tuduhan miring lainnya. Lain kesempatan kita bahas
tentang sikap dan falsafah ekonomi Pak Boed. Kali ini saya hanya sanggup
bercerita sisi lain dari sosok Pak Boed yang kian terasa langka di negeri ini.
Maju terus Pak Boed. Doa
kami senantiasa menyertai kiprah Pak Boed ke depan, bagi kemajuan Bangsa.
Posting Komentar untuk "Sisi Lain Pak Boed yang Saya Kenal"