![]() |
Menyelami
khasanah budaya nusantara sangat mengasyikkan. Anda akan bertatapan dengan
karakter manusia yang beraneka ragam. Keragaman tingkah laku ini patut kita
banggakan. Sebuah negeri yang sekarang sedang sakit, namun ternyata masih saja
ada kelompok dalam masyarakat yang masih mampu menggunakan kearifan lokal untuk
tidak larut dalam hiruk pikuk peristiwa
politik dan ekonomi. Budaya lokal yang masih diemban demi menjaga amanat nenek
moyang.
Terinspirasi
oleh sebuah novel “Incest (Kisah Kelam Kembar Buncing)”, karya I Wayan Artika,
Kembar Buncing dibeberkan dalam bentuk cerita bersambung. Harian Bali Post,
yang mempublikasikan cerbung, sempat memberhentikan cetakan akibat tekanan
masyarakat. Penulis sendiripun, menurut penuturannya diusir dari desa. Karena
membuka tradisi, yang oleh masyarakat masih dipersepsikan “rahasia”.
Sebuah
desa di Bali, masih ada yang memiliki kepercayaan tentang bayi lahir Kembar
Buncing (laki-perempuan) akan membawa
aib, tidak saja bagi keluarga tetapi berdampak pada komunitas desa. Kembar
Buncing adalah kutukan. Karena kelahiran Kembar Buncing akan mengakibatkan
bahaya, oleh karenanya harus disucikan. Penyucian dilakukan lewat
upacara-upacara yang melelahkan, keluarga (ayah-ibu) harus diasingkan.
Kembar
Buncing dipertanggungjawabkan tidak hanya bagi ayah dan ibunya saja, namun
beban moralitas dijunjung juga oleh desa setempat. Ada perjanjian tidak
tertulis, dan isinya merupakan rahasia desa. Seluruh warga desa harus melakukan
perjanjian “diam”. Dalam sumpah
tersebut, masih terselip juga aturan untuk masa depan kedua bayi. Mereka harus
dinikahkan (incest) bila saatnya tiba. Untuk itu kedua bayi harus dipisahkan.
Pada
saat jaman keemasan monarchi, perkawinan dalam satu keturunan bahkan menjadi
keharusan. Perkawinan sedarah dapat terjadi karena mengembangkan keturunan, dan
tentu saja gengsi. Istana memiliki kedudukan yang mutlak dalam menentukan
pasangan keluarga. Karena kekuasaannya yang demikian dominan, maka pernikahan
dalam satu keluarga menjadi sebuah tradisi yang wajib dilaksanakan bagi
penghuni di lingkungan kerajaan.
Kebudayaan
bisa jadi menjadi penyebab kasus incest. Kebudayaan dibentuk karena kekuasaan
mutlak sang raja. Raja menjadi penentu dalam mengatur kehidupan bermasyarakat.
Diyakini pula bahwa Raja juga sebagai tuhan.
Semasa
Alexander Agung melakukan penjajahan di Mesir, raja-raja di mesir melakukan
incest(hubungan sedarah) dengan maksud, agar memiliki keturunan berdarah murni
dan melanggengkan kekuasaan.
Contoh yang
terdokumentasi adalah perkawinan Ptolemeus II dengan saudara perempuannya,
Elsione. Beberapa ahli berpendapat, tindakan seperti ini juga biasa dilakukan
kalangan orang biasa. Toleransi semacam ini didasarkan pada Mitologi Mesir Kuno
tentang perkawinan Dewa Osiris dengan saudaranya, Dewi Isis. Sedangkan dalam
mitologi Yunani kuno ada kisah Dewa Zeus yang kawin dengan Hera, yang merupakan
kakak kandungnya sendiri.
Kasus
incest tidak sepenuhnya milik Bali. Incest bahkan sudah lama dipraktekkan,
bahkan hingga kini. Suku Polahi di Kabupaten Polahi, Sulawesi, perkawinan antar
saudara adalah hal wajar. Perkawinan sedarah masih dapat kita saksikan sesuai
dengan laju sejarah. Incest bisa terjadi karena terpaksa, atau suka rela.
Status
pembaca sekarang adalah menimbang, boleh setuju, boleh terkagum, bahkan boleh juga
tidak setuju, karena tidak sejalan dengan keyakinan. Pembaca berhadapan dengan
tradisi budaya masyarakat setempat yang menjunjung tinggi kearifan lokal. Anda
yang sudah sempat mampir dibeberapa daerah yang memiliki kehidupan yang unik
hanya ada satu kesimpulan. Bersyukur.
Posting Komentar untuk "Incest"