Diselingi cemilan, pembicaraan rencana kerja bakti renovasi jalan kampung, nyaris menemui jalan buntu, karena tahapan pembuatan anggaran. Kacang godog menjadi menu utama pada setiap pertemuan RT dihelat. Tahu pong, penganan renyah lainnya menjadi music pengiring pembicaraan yang cenderung tanpa arah dari setiap warga bila berkumpul.
Arisan, tetangga yang
akan punya gawe, rehab rumah adalah salah satu sarana komunikasi dan area
berkumpulnya anggota masyarakat. Walaupun setiap hari bersua, namun ngobrol tak
kan pernah habis dikupas. Kenikmatannya menjadi orang dikampung seperti ini.
Semua lebur, tanpa pembatas status sosial. Banyolan seketika bisa meletup,
menawarkan lumernya otak yang telah diperas beberapa hari.
RT (rukun tetangga) adalah
sebuah komunitas ciptaan pendahulu kita. Sebuah sarana budaya yang adi luhung
sebagai perekat masyarakat. Tidak ada yang mengetahui secara persis kapan RT
muncul pertama kali. RT bukan merupakan pembagian administrasi dari kelurahan,
namun pembentukannya berdasarkan atas musyawarah mufakat dari masyarakat
setempat. Pembagian RT juga tidak mengaju pada banyaknya keluarga atau
berdasarkan demografi.
Sebagai salah satu
anggota keluarga di suatu kampung pastilah akan tahu diri manakala pertemuan RT
digelar. Tak perlu registrasi, tak perlu seleksi. Orang lain dengan tangan
terbuka menerima kahadiran sebuah keluarga bila menghuni tempat baru. Dari
daerah manapun, suku apapun, latar belakang keluarga bagaimanapun, masyarakat setempat
selalu welcome. Selayaknya kita patut berterima kasih kapada nenek moyang kita
yang telah menciptakan forum rembug warga. Sudah selayaknya bila kita merawat
kebudayaan yang sangat bermanfaat sebagai ajang tertinggi rembug warga.
Dalam perjalanan,
lembaga ini mengalami pemudaran makna. RT yang sedia kala merupakan komunitas
yang dapat melaksanakan fungsi pemberdayaan masyarakat, menemui penyempitan
makna. Ada berbagai sebab bila RT mengalami perubahan fungsi. Satu diantaranya
adalah sebagai alat untuk mendikte kemauan kelompok tertentu. Akan terlihat
sangat mencolok pada saat menjelang pemilihan. Baik pemilihan lurah/kepala
desa, pemilihan bupati/wali kota sampai ke pemilihan umum. Ajang perkumpulan RT
yang mestinya untuk membicarakan permasalahn di kampung, dapat berubah menjadi
media politik. Bahkan warga sempat digiring untuk memilih tanda gambar
tertentu. Alasan inilah yang menjadi kemandirian RT terkikis. Bisa jadi, RT
menjadi semacam melegalkan kebijakan atasan. Sehingga pengurus RT sedikit demi
sedikit tergerogoti kredibilitasnya. Itulah sebabnya, seseorang akan enggan
untuk menjadi pengurus RT.
Fungsi RT selayaknya
harus kita kembalikan pada porsinya, yaitu sebagai forum rembug warga untuk
membangun warga yang ada di kampung. Komunikasi RT menjadi sangat strategis
untuk sosialisasi program kelurahan, kecamatan sampai pada Negara. Kumpulan RT
adalah sarana yang tepat untuk memobilisasi masa. Pembaca masih ingat penataran
P4? Sebaiknya RT jangan dijadikan ajang untuk rekayasa sosial semacam itu.
Posting Komentar untuk "Jati Diri Rukun Tetangga"