“Ngono yo ngono ning ojo ngono”, “alon-alon waton klakon”, “wong urip mung sawang sinawang” adalah beberapa kosa kata yang sudah mulai dilupakan oleh generasi muda. Mereka lebih mengenal kalimat “time is money”, “I love you”, “mensana incorpore sano”. Kosa kata dalam bahasa Jawa yang sarat makna dalam kehidupan sudah mulai terkikis dalam arus globalisasi. Kehadiran budaya asing bagaikan air bah yang tidak mungkin dapat dibendung. Siapapun yang masih mampu merasakan denyut kehidupan, pasti akan menghirup budaya globalisasi.
Laju modernisasi
semakin merajalela karena pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya
teknologi informasi. Di satu sisi laju informasi sangat terasa manfaatnya,
namun di pihak lain teknologi informasi bagaikan sebuah pisau tajam yang akan
menghujam di ulu hati, sehingga manusia terkapar dan hanyut dalam pusaran
modernisasi. Ia bagaikan sebuah buih yang terus diombang-ambingkan dalam
gelombang kehidupan. Manusia yang demikian tidak ubahnya seperti robot yang
telah diprogram untuk melaksanakan keinginan orang lain.
Unggah-ungguh/kosa kata
yang disebutkan diatas, sebenarnya bukan sekedar kata tak bermakna. Ia bahkan
bukan hanya susunan kata yang hanya membentuk kalimat yang enak kedengarannya.
Tetapi kosa kata yang penuh filosofis dan telah teruji dapat membentuk
ketahanan mental dalam mengarungi kehidupan.
OrangJjawa khususnya, adalah
orang yang mampu berdialog dengan alam semesta. Mereka dapat membaca perilaku
alam. Sehingga kedudukan manusia menjadi seimbang. Selaras. Manusia menghormati
alam. Alampun akan memberikan timbal balik kepada manusia yaitu keserasian.
Alam tak segan untuk memberikan yang terbaik buat manusia.
Dari hubungan manusia
yang serasi dengan alam, manusiapun mengapresiasikan keselarasan kepada manusia
yang lain. Bahwa manusia pada dasarnya sama. Tak ada yang lebih tinggi dan tak
ada yang lebih rendah. Manakala ia memperoleh kelebihan, maka dengan senang
hati ia akan berbagi kepada orang yang kekurangan. Manakala ia memiliki
ketrampilan, dengan hati yang ikhlas berbagi ia tularkan kepada orang lain.
Itulah hubungan timbal balik antar manusia. Sifat-sifat yang demikian itu
melahirkan kosa kata yang penuh filosofi dan bermakna.
Apakah unggah-ungguh
yang demikian adi luhung dapat diterapkan oleh generasi sekarang? Nampaknya
jauh panggang dari api. Mungkin kosa kata itu hanyalah kata yang masuk dalam
kurikulum pendidikan bahasa jawa. Cuma dihafal untuk memperoleh nilai belaka.
Dilihat dari pola hubungan antar manusia yang bisa kita rasakan saat ini,
nampaknya unggah-ungguh hanya menjadi sebuah deretan huruf. Pas benar dengan
semangat modernisasi yang mengusung hedonisme, egois, mau menangnya sendiri.
Sebagai manusia yang
berbudaya tentu kita tidak akan membiarkan suasana yang demikian. Terbukti
bahwa arus globalisasi tidak semuanya dapat mengantarkan pada kehidupan yang
lebih baik. Modernisasi juga tidak seluruhnya memberi manfaat untuk kalangan
kita. Kata yang bijak adalah tidak mengambil makna modern secara keseluruhan, namun
tidak menghilangkan semua unggah-ungguh. Menata kehidupan yang lebih baik
adalah dengan upaya memanfaatkan intisari dari berbagai macam arus budaya.
Posting Komentar untuk "Kebudayaan Jawa dalam Pusaran Arus Globalisasi"