Ny Yayah Komariah selalu setia mendampingi kelima bila mereka belajar. Topik yang dibicarakan adalah suka-suka, tergantung keinginan mereka. Namun yang paling seru dan sering dibicarakan adalah pada mata pelajaran Matematika. Hasan yang baru berumur 7 tahun, mempunyai cita-cita menjadi astronot dan suatu saat ingin ke Planet Mars. Vida, sang kakak ingin menjadi guru. Sungguh mulia harapan mereka. Ruangan depan yang berukuran 3 x 3 menjadi arena untuk memacu diri, agar tidak kalah dengan teman-teman yang sempat mengenyam di bangku sekolah. Itulah kisah yang saya nukilkan pada buku Home Schooling terbitan kompas, 2007.
“Masuk ke sekolah
formal yang bermutu biayanya mahal, sedikitnya Rp. 3 juta dengan biaya bulanan
Rp. 150.000. Saya sudah pernah mau mendaftarkan anak saya ke SD negeri, tetapi
begitu melihat guru untuk 40 anak, saya ngeri juga memasukkan anak ke sistim
itu” itu alasan Ny Yayah, mengapa dia lebih senang memilih Home Schooling.
Latar belakang pendidikan beliau saja, dia lebih enjoy untuk mendidik anaknya
sendiri. Dengan berbekal mantan seorang guru, ternyata bukan hanya anaknya
sendiri yang selalu mengikuti kegiatan belajar di rumah. Tercatat beberapa
tetangga juga tertarik untuk membentuk kelompok, mendirikan sekolah di rumah.
Alasan apa lagi yang rupanya
sekelompok masyarakat untuk menolak sekolah formal? Seperti yang dituturkan
Wati. “Anak pertama saya, Fini, memerlukan waktu sedikit lebih lama
dibandingkan Fina, adiknya, untuk memahami sebuah persoalan. Hal ini bukan
berarti Fini, tidak pandai, tetapi dia memerlukan waktu atau cara lain untuk
mengerti hal baru. Ini yang sering tidak dipahami guru. Guru tidak sempat
member perhatian kepada murid satu persatu karena yang jadi tanggung jawabnya
banyak sekali”. Itulah kekhasan seseorang. Keunikan seseorang sering tidak
menjadi perhatian guru yang mengajar di kelas. Kelemahan klasikal yang hampir
tiap hari kita temui. Semua siswa dalam satu kelas dianggap rata.
Kedua ibu rumah tangga
yang telah saya sebutkan diatas, adalah mereka yang siap mendidik anaknya
sendiri di rumah. Mereka benar, karena kegiatan seperti itu dilindungi
undang-undang. “Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan
lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri” itu bunyi Pasal 27 Ayat (1) yang tertera dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pada ayat
(2) disebutkan “Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui
sama dengan pendidikan formal dan non formal setelah peserta didik lulus ujian
sesuai dengan standar nasional pendidikan”.
Ada anggapan bahwa anak
yang belajar di rumah kurang dalam kegiatan bersosial. Menurut pengakuan
beberapa orangtua tidak benar. Justru yang terjadi adalah anak lebih
berinisiatif. “Gagah kini lebih banyak berinisiatif dan komunikatif
mengutarakan pendapatnya dan bercerita apa yang dialaminya sehari-hari,
Padahal, sebelumnya sangat pendiam….” Ungkap Nano Riantiarno, tokoh teater.
Apakah pembaca berminat
untuk mendirikan Home Schooling? Sekarang, sudah banyak lembaga-lembaga
konsultan pendidikan non pemerintah didirikan. Dari mereka kita bisa
mendapatkan informasi tentang kelemahan dan kelebihan sekolah formal.
Pemerintah sendiri juga sudah menyatakan wellcome, bila suatu saat dimintai
informasi tentang perkembangan pendidikan. Teknologi Informasi (internet) juga
sebagai sarana yang tepat mendapatkan gambaran, sekaligus sharing mengenai home
schooling.
Mendidik anak adalah
pilihan. Sekolah formal atau home schooling toh pada akhirnya yang paling
berperan tetap orangtua.
Posting Komentar untuk "Mendidik Anak adalah Pilihan"