Rupanya
anak kecil tadi belum siap untuk beradaptasi dalam lingkungan yang baru.
Dibenaknya masih ingin suasana sekolah seperti masih di SD. Masih ingin
berteman dengan kawan-kawan SD, bahkan ingin sekolahnya masih seperti di SD.
Tidak sedikit mental anak yang ingin memasuki jenjang yang lebih tinggi,
memiliki emosi seperti ini. Orang tuapun kadang-kadang merasa was-was.
Pendidikan
di Indonesia memang memakai sistim bertingkat. Setelah TK kemudian SD,
dilanjutkan SMP dan seterusnya. Setiap jenjang memungkinkan seorang anak
berpindah dari sekolah satu ke sekolah lainnya. Sekalipun ada juga model
sekolah yang sifatnya langsung. Misalnya, dari kelas VII sampai kelas XII. Ini
biasanya dimiliki oleh sekolah denga model penggabungan antara sekolah dengan pondok.
Akibatnya
sistim yang diterapkan oleh pemerintah yang demikian itu, seorang anak harus
selalu siap untuk beradaptasi ke dalam lingkungan yang baru setiap menapaki
jenjang yang lebih tinggi. Keuntungannya adalah siswa akan memiliki kawan baru.
Siswa akan mempunyai suasana dan lingkungan baru. Mestinya anak merasa senang
akibat dari model pendidikan di Negara kita.
Dari
suasana yang demikian itu, maka salah satu fungsi seorang guru adalah sebagai
penyeimbang emosi siswa. Kebijakan sekolah agar setiap periode tertentu merotasi
siswa dalam pengelompokan kelas sudah baik. Pertimbangannya beraneka ragam,
mulai dari berdasarkan prestasi, keseimbangan gender, berdasarkan tingkah laku
anak dan lain-lain. Bila sebuah kelas telah ditetapkan anggotanya dengan
pertimbangan komposisi di atas, berikutnya adalah peran guru dalam mengemas
suasana kelas.
Komposisi
kelas yang telah diatur berdasarkan prestasi akademik, maka seorang guru
siap-siap untuk meredam gejolak emosi anak manakala menghadapi kelas khusus (akademiknya
rendah). Bila guru sudah tidak dapat mengatur ritme suasana kelas, sudah tidak memiliki
wibawa, yang terjadi adalah adanya pertengkaran antara siswa dengan guru,
suasana kelas yang selalu ramai, tak jarang terjadi pertengkaran yang berujung
pertikaian. Inilah kelas yang selalu menjadi polemik. Kelas yang selalu
mewarnai setiap rapat dewan guru. Apapun alasannya, bila sejak awal pembagian
kelas sudah ditetapkan seperti itu, resiko harus ditanggung semua guru.
Membangun
kewibawaan seorang guru tidak datang tiba-tiba. Kewibawaan seseorang telah
melalui proses yang panjang dan berinteraksi dengan banyak orang. Maka
sebenarnya agak memalukan bila seorang guru tidak memiliki peran yang aktif dalam
masyarakat. Kalau seorang guru hanya sebagai anggota dalam sebuah komunitas,
berarti mata kuliah yang berhubungan dengan kemasyarakatan gagal diserap.
Bagaimana
mungkin dapat mengendalikan suasana kelas, bila gurunya sendiri tidak terlibat
aktif dalam masyarakat. Bagaimana mungkin dapat mengendalikan emosi anak, namun
gurunya sendiri belum bisa mampu meredam emosi. Sebab emosi seseorang berasal
dari masyarakat.
Posting Komentar untuk "Mengatur Ritme Emosi Anak"