Saya mengenal pelajaran logika pertama kali di SMA. Bidang pelajarannya, matematika. Saat itu perdebatan kecil muncul sewaktu pelajaran, karena logika yang diajarkan tidak sesuai dengan realita. Logika yang kenalkan saat itu “jika-maka”. Saya pertama kali mendengar istilah negasi, yang bermakna lawan pernyataan. Ada juga istilah konjungsi, disjungsi, implikasi dan istilah lainnya. Masing-masing mempunyai simbol yang sekaligus penggunaan yang berlainan pula.
Guru kami memberi
contoh :
Jika Adi naik
kelas maka akan dibelikan sepeda.
Ada 4 buah
kemungkinan yang terjadi, bila memakai logika matematika
Jika
Adi naik kelas maka akan dibelikan sepeda. Pernyataan benar
Jika
Adi tidak naik kelas maka akan dibelikan sepeda. Pernyataan salah
Jika
Adi naik kelas maka tidak dibelikan sepeda. Pernyataan salah
Jika
Adi tidak naik kelas maka tidak dibelikan sepeda. Pernyataan Benar.
Inilah yang memicu
perdebatan kami. Sebab ada teman yang mengatakan walaupun Adi tidak naik kelas,
tetapi kalau dalam kenyataan dibelikan sepeda, tidak menyalahi aturan. Akhirnya,
kalau cuma menang-menangan hanya yang bersuara lantang saja yang jawara.
Logika tetaplah
logika. Sebagaimana matematika, kebenarannya bersifat tertutup. Aturan yang
dipakai dalam matematika telah teruji secara secara sain dan bersifat
universal.
Logika muncul
pertama kali dari Yunani Kuno (3 – 2 SM). Kalangan filsafat menyebutkan
Pra Yunani. Studi ini terus berlanjut sampai pada masa keemasan Islam
Andalusia (8 – 11 M), menjalar ke kawasan Eropa (15 – 18 M), dan
akhirnya sampai pada sistem logika sekarang ini.
Di masa Yunani,
pengetahuan yang berkembang didasarkan pada pola pikir yang rasional. Pikiran
manusia menjadi sentral untuk mengembangkan peradaban. Namun bukan berarti
penganut dogmatisme mati. Pusat pemerintahan juga mendukung aktifitas untuk
mengembangkan budaya pikir.
Sifat empirik
eksperimental lebih kental mendominasi perkembangan pemikiran pada masa Islam
Andalusia. Kekhalifahan sangat mendukung perkembangan pengetahuan untuk
mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Bahkan Ilmuwan muslim, mendapat tempat
dan kedudukan terhormat dihadapan khalifah.
Pengetahuan yang
berbasis empiris eksperimental inilah sebagai pondasi dasar berkembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Segala aktifitas umat manusia menjadi lebih mudah, karena ditopang dengan
teknologi.
Sebagaimana sifat
yang dimiliki manusia, lalai, maka kajayaan Islam Andalusia pun surut. Ilmu
pengetahuan berpindah ke daratan Eropa (baca: barat). Mulailah revolusi
Industri menggilan ke seluruh aspek kehidupan. Eropa, hingga kini masih
memegang kendali bukan hanya teknologi, tapi merambah ke ekonomi, keamanan dan
kebudayaan. Namun kehadiran iptek yang dikembangkan di Eropa disertai dengan
sifat : materialisme, hedonisme, individualism dan semacamnya.
Implikasi yang
ditimbulkan dengan memanfaatkan teknologi yang datang dari barat, berakibat
pada pola pikir yang berkembang di masyarakat. Nilai yang berkembang
berbenturan dengan nilai yang dianut oleh masyarakat, yang lebih bersifat humanisme.
Bila pola ini dibiarkan, tanpa disaring, akan membahayakan generasi muda.
Apabila logika
yang dibangun dengan pondasi berfikir bebas dan mengandalkan otak semata, yang
muncul di kalangan pelajar adalah pembenaran dengan segala cara. Sehingga
muncul istilah pukul dulu, urusan belakangan. Tawuran yang sekarang sedang
hangat dibicarakan, akibat dari individualisme yang kuat. Pola pikir ini
menafikan orang lain. Aku dan kelompokku menjadi pilihan satu-satunya. Gang ini
tidak mengenal kata kita, kami.
Namun bila pondasi
dasar ilmu pengetahuan dan teknologi berdampingan dengan agama atau nilai
luhur, akan melahirkan generasi yang seimbang. Cekatan dalam berfikir dan kuat
dalam cerdas dalam bermasyarakat.
Posting Komentar untuk "Mengajak Anak Berfikir Logis"