Setelah beberapa tahun corona berlalu, aktivitas masyarakat kembali seperti semula. Ada yang lebih giat dalam bekerja, tapi tak jarang kinerja menurun, bahkan berhenti. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa covid-19 dapat menyebabkan dunia terbalik. Hal ini mengingatkan 7 abad yang lalu, ketika penyakit pes melanda (terutama Eropa), yang lebih dikenal dengan peristiwa Black Death.
The Black Death. Nama yang merupakan
terjemahan dari bahasa Latin atra mortem ini muncul dari
gejala yang dialami penderita. Kulit mereka menghitam, biasanya di bagian jari
tangan, jari kaki, atau ujung hidung. Kehitaman itu muncul akibat adanya
jaringan yang mati.
Sejarawan Norwegia Ole
Jorgen Benedictow menulis dalam bukunya The Black Death, 1346-1353, menurutnya,
pes muncul lewat Laut Kaspia, selatan Rusia (kini masuk wilayah Ukraina), pada
musim semi1346.
Persebaran pes juga terjadi
lewat kapal dagang Italia. Tikus-tikus berkutu ikut naik kapal, menyusup di
antara karung dan keranjang barang. Dalam perjalanan laut itu, banyak tikus
terinfeksi pes yang mati. Namun, kutu-kutu tetap bertahan hidup. Kutu tersebut
lalu mencari tikus baru. Mulanya, kutu tikus akan menempel di baju, lalu
menular dari satu orang ke orang lain. Dari jalur perdagangan inilah pes
menyebar ke segala penjuru Eropa.
Di Inggris, wabah pes
meluas sampai ke daerah selatan London, kemudian berlanjut hingga ke Eropa
Utara. Pes sampai di Oslo pada musim gugur 1348 lewat kapal dagang Inggris yang
berlayar ke arah timur dan tenggara. Black Death di Norwegia masuk
lebih cepat dibanding ke Jerman dan Belanda.
Tingginya angka kematian
akibat pes amat mengagetkan di Eropa. Mereka menganggap Black Death
adalah kutukan Tuhan yang menimpa para pendosa. “Tapi ketika ada seorang
beriman yang mati terkena black death, orang-orang jadi yakin kalau penyakit
ini bukan dari kutukan Tuhan tapi dari udara busuk,” kata Dosen IAIN Surakarta
Martina Safitry.
Posting Komentar untuk "Black Death"