Yogyakarta menerima Amanah sebagai Ibu Kota

 


Hari ini tujuh puluh delapan tahun yang lalu, Yogyakarta menerima Amanah yang demikian besar, yaitu menerima kepindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Yogyakarta. Beban berat itu harus diterima, karena Jakarta sudah dikuasai pasukan Belanda yang kian beringas. Sampai saat itu, Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia, dan ingin menjajah lebih lama. Para pemimpin republik ini terus diburu, agar Negara Indonesia tetap lenyap.

Setelah Jakarta dikuasai, giliran Yogyakarta juga hendak dibredel. Dan berhasil. Dwi tunggal, Soekarno Hatta, dan beberapa Menteri ditangkap dan diasingka ke luar Jawa. Praktis hanya beberapa Menteri yang luput dari sergapan, karena saat itu sedang tidak berada di Jakarta maupun Yogyakarta. Melalui agresi militernya, Yogyakarta dalam genggaman Belanda. Hanya keraton Yogyakarta yang masih hidup, karena Belanda tidak berani masuk keraton Yogyakarta, meski bendera putih telah dikibarkan.

Apakah Indonesia menyerah? Tidak. Ada daerah lain yang siap untuk melawan. Kecerdikan Soekarno Hatta dapat mengelabui Belanda. Beberapa saat menjelang digiring untuk diasingkan, mereka membuat kawat yang ditujukan kepada Syafrudin Prawiranegara di Limapuluh Kota, Sumatra Barat yang kelak mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Syafrudin menerima perintah untuk membentuk Pemerintahanan Darurat di Sumatra, andai Ibu Kota Yogyakarta jatuh akibat serangan Belanda pada tanggal 19 Desember 1948.   

Rupanya Soekarno Hatta juga mengirim surat lain kepada Dr. Soedarsono, L.N. Palar, dan AA Maramis yang sedang berada di India. Surat ini mengatakan, jika ikhtiar Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Sumatra tidak berhasil, maka diperintahkan untuk membentuk exile gorverment di India. Faktanya pemerintahan di pengasingan tidak jadi dibentuk.

Dari dua surat mandat tersebut terbaca bahwa keadaan Negara Indonesia dalam keadaan genting dan gawatnya situasi saat itu. Apalagi komunikasi juga masih sulit. Namun PDRI telah menyelamatkan muka Indonesia dalam kancah Internasional.

Apakah pemerintahan sementara PDRI merasa nyaman karena jauh dari Jakarta dan Yogyakarta? Tidak juga. PDRI tak luput diburu sampai ujung dunia. Mereka tetap melaksanakan pemerintahan meskipun dikejar-kejar, masuk hutan keluar hutan, mulai dari Solok Selatan, Koto Tinggi, dan Sampur Kudus, bahkan memasuki wilayah Aceh. Sama seperti peristiwa Pangsar Jendral Soedirman melakukan perlawanan dengan bergerilya.

Perjuangan gerilya PDRI telah memperpanjang nafas kemerdekaan yang baru berusia seumur jagung. Kepongahan Belanda dijawab dengan langkah nyata PDRI. Pemimpin dan rakyat menyatu meski gerilyanya amat panjang, sekitar 1.000 km. Berbukit-bukit, melintasi sungai dan jurang, meretas hutan belantara.

Seorang diplomat ulung H.A. Salim menjawab pertanyaan wartawan asing tak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 menjawab: “Daripada menyerahkannya kembali ke Belanda, lebih baik saya bakar Indonesia ini”.  

Bahan Bacaan: Bulir-bulir Refleksi Seorang Mujahid, karya Ahamad Syafii Maarif








Posting Komentar untuk "Yogyakarta menerima Amanah sebagai Ibu Kota"