Setelah
Jakarta dikuasai, giliran Yogyakarta juga hendak dibredel. Dan berhasil. Dwi
tunggal, Soekarno Hatta, dan beberapa Menteri ditangkap dan diasingka ke luar
Jawa. Praktis hanya beberapa Menteri yang luput dari sergapan, karena saat itu
sedang tidak berada di Jakarta maupun Yogyakarta. Melalui agresi militernya,
Yogyakarta dalam genggaman Belanda. Hanya keraton Yogyakarta yang masih hidup,
karena Belanda tidak berani masuk keraton Yogyakarta, meski bendera putih telah
dikibarkan.
Apakah
Indonesia menyerah? Tidak. Ada daerah lain yang siap untuk melawan. Kecerdikan Soekarno
Hatta dapat mengelabui Belanda. Beberapa saat menjelang digiring untuk
diasingkan, mereka membuat kawat yang ditujukan kepada Syafrudin
Prawiranegara di Limapuluh Kota, Sumatra Barat yang kelak mendirikan
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Syafrudin menerima perintah untuk
membentuk Pemerintahanan Darurat di Sumatra, andai Ibu Kota Yogyakarta jatuh
akibat serangan Belanda pada tanggal 19 Desember 1948.
Rupanya
Soekarno Hatta juga mengirim surat lain kepada Dr. Soedarsono, L.N. Palar, dan
AA Maramis yang sedang berada di India. Surat ini mengatakan, jika ikhtiar
Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Sumatra tidak
berhasil, maka diperintahkan untuk membentuk exile gorverment di India.
Faktanya pemerintahan di pengasingan tidak jadi dibentuk.
Dari
dua surat mandat tersebut terbaca bahwa keadaan Negara Indonesia dalam keadaan
genting dan gawatnya situasi saat itu. Apalagi komunikasi juga masih sulit.
Namun PDRI telah menyelamatkan muka Indonesia dalam kancah Internasional.
Apakah
pemerintahan sementara PDRI merasa nyaman karena jauh dari Jakarta dan
Yogyakarta? Tidak juga. PDRI tak luput diburu sampai ujung dunia. Mereka tetap
melaksanakan pemerintahan meskipun dikejar-kejar, masuk hutan keluar hutan,
mulai dari Solok Selatan, Koto Tinggi, dan Sampur Kudus, bahkan memasuki
wilayah Aceh. Sama seperti peristiwa Pangsar Jendral Soedirman melakukan
perlawanan dengan bergerilya.
Perjuangan
gerilya PDRI telah memperpanjang nafas kemerdekaan yang baru berusia seumur
jagung. Kepongahan Belanda dijawab dengan langkah nyata PDRI. Pemimpin dan
rakyat menyatu meski gerilyanya amat panjang, sekitar 1.000 km. Berbukit-bukit,
melintasi sungai dan jurang, meretas hutan belantara.
Seorang
diplomat ulung H.A. Salim menjawab pertanyaan wartawan asing tak lama setelah
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 menjawab: “Daripada menyerahkannya
kembali ke Belanda, lebih baik saya bakar Indonesia ini”.
Bahan
Bacaan: Bulir-bulir Refleksi Seorang Mujahid, karya Ahamad Syafii Maarif
Posting Komentar untuk "Yogyakarta menerima Amanah sebagai Ibu Kota"