Seratus
hari pertama, sejak seorang pejabat dilantik, adalah masa krusial. Apakah ini hanyalah latah sebagai alat ukur
keberhasilan sebuah institusi. Atau sebagai alat pemicu, agar institusi
tersebut segera bekerja sesuai dengan program yang dijanjikan.
Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto
tak luput dari desakan itu. Terbukti bahwa Presiden yang dibantu oleh Menteri telah
menetapkan langkah strategis yaitu membentuk Danantara. Sebuah Lembaga Sovereign
Wealth Fund (SWF) dengan makna menjadi lebih bervariasi dari sumber
pendapatan negara. Lembaga ini lahir dari keinginan untuk mengoptimalkan
pemanfaatan kekayaan alam Indonesia, sekaligus mengurangi ketergantungan pada
sumber daya alam.
Danantara, singkatan dari Daya Anagata
Nusantara, menitik beratkan pada kekuatan ekonomi dan investigasi. Harapan
Danantara dapat meniru yang telah dilakukan oleh Norwegia dengan Government Pension
Fund (GPF-G0). Atau Tamasek (Singapura). Namun harus menutup
rapat-rapat kebocoran yang telah dilakukan oleh Malaysia dengan 1MDB (1Malaysia
Develompent Berhad)
Sosialisasi yang dilakukan oleh tim Danantara
belum menunjukkan kinerja yang optimal. Tingkat kepercayaan publik masih rendah.
Survei terbaru menunjukkan bahwa hanya 37,4% responden menyatakan yakin atau
sangat yakin bahwa Danantara mampu mengelola kekayaan negara secara transparan,
sementara 47,6% lainnya merasa tidak yakin atau sangat tidak yakin. Ini
menandakan adanya gap besar dalam persepsi publik terhadap lembaga ini yang
perlu segera dijembatani dengan pendekatan strategis dan terbuka.
Lihat grafik berikut:
Mengapa publik masih belum percaya terhadap kemunculan
Danantara?
Pertama,
Transparansi dan akuntabilitas yang belum memadai.
Salah
satu kekhawatiran terbesar adalah kurangnya keterbukaan dalam pengelolaan dana
Danantara. Publik membutuhkan kejelasan tentang bagaimana dana tersebut akan
dikelola, investasi apa yang diprioritaskan, dan siapa yang bertanggung jawab
atas pengawasan. Ketidakjelasan ini menimbulkan kekhawatiran terhadap potensi
penyalahgunaan dana.
Kedua,
resiko penyimpangan dan praktik korupsi. Besarnya dana yang dikelola Danantara
menjadi daya tarik sekaligus potensi risiko. Indonesia memiliki rekam jejak
kasus korupsi dalam pengelolaan dana publik, sehingga penting untuk memastikan
bahwa Danantara tidak menjadi ladang baru bagi praktik serupa.
Ketiga,
keterbatasan keterlibatan public. Dalam pembentukan dan perencanaan strategis
Danantara, partisipasi masyarakat dan stakeholder independen dirasa masih
minim. Kurangnya keterlibatan ini memperbesar jarak antara pengambil kebijakan
dan harapan publik, yang berpotensi memperlemah legitimasi proyek ini.
Keempat,
tantangan tata kelola yang efektif. Sebagai lembaga yang mengelola dana dalam
jumlah besar, Danantara dituntut menerapkan prinsip good governance secara
ketat. Tanpa sistem tata kelola yang kuat, risiko kegagalan dan penyimpangan
semakin besar.
Sumber
informasi : Diskusi online yang diselenggarakan oleh Kompas
Posting Komentar untuk "Danantara dimata Publik"